Kesimpulan ini (terpaksa) diambil, karena dalam shalat, ibadah terikat dengan juklak syara’. Seseorang tidak boleh menciptakan model ibadah sendiri tanpa bimbingan agama, semua harus berpatokan dengan aturan syariat yang sudah ditentukan.
Muhammad Alawi al-Maliki mengatakan :
ان الله سبحانه وتعالى لا يعبد الا بما شرع ولذالك كانت العبادات كلها توقيفية لا تعلم الا من جهة الله تعالي
“Allah ta’ala tidak boleh disembah kecuali dengan cara yang telah diatur oleh Syara’. Karena itulah, seluruh praktek ibadah merupakan tauqifi (juklak agama) yang tidak bisa diketahui kecuai dengan petunjuk-Nya sendiri. (Mafhumal-Tathawwur wa al-Tajdid halaman 21)
Imam Syafi’i dalam al Umm menyebut: Namun demikian, tidak semua shalat ied dua kali salah. Malah ada yang dianjurkan. Yakni ketika terjadi syubhah ar-rukyah (kekaburan rukyah). Misalnya begini, ada seseorang yakin melihat bulan, sayangnya ia tidak mungkin bersaksi, karena validitas dan kredibilitasnya diragukan.
Karenanya, secara pribadi ia wajib berbuka (lantaran secara pribadi ia yakin bahwa saat itu tanggal 1 Syawwal) dan untuk selanjutnya salat ‘ied sendirian. Esok, ketika masyarakat melaksanakan ‘ied berjamaah, ia boleh ikut kembali. (Al-Umm, juz 1 halaman 263)
Shalat ied dua kali, seperti yang terjadi di beberapa daerah di Jawa Timur memang akan selalu terjadi di tahun mendatang. Ini karena penentuan 1 Syawwal tidak pernah ada kata sepakat. Ada yang pakai hisab ada yang pakai rukyah. Jika ini terus berlanjut maka shalat ‘ied dua kali akan terus ada sekalipun di atas telah dinyatakan “keliru”.
Barangkali, untuk mengatakan masalah ini perlu menyepakati 1 syawal dan 1 Ramadan. Ini bukan berarti menafikan rukyah.
Hanya, rukyah itu dhanny (buktinya masing-masing orang berbeda), sedang hisab itu Qath’i. Logikanya, yang dhanny berbeda dengan yang Qath’i. Imam as-Subkhi mengatakan:
Apabila ada satu atau dua orang mengaku melihat bulan, tetapi hisab mengatakan tidak mungkin dilihat, maka kesaksiannya dianjurkan. Sebab hisab berkekuatan qath’i, sedangkan rukyah dhanny. Yang dhanny tidak mungkin mengalahkan qath’i. (Baca : I’anah at-Thalibin juz 2 halaman 216).
Tapi lebih dari itu, jika memang perbedaan sulit untuk dihindari, maka yang perlu diperhatikan adalah upaya saling menghormati dan menghindari provokasi yang berujung pada konflik. Sebab perbedaan ini furuiyyah jangan sampai bak ushuliyah dibela hingga mati-matian.
Wallahu a’lam. ***
Sumber: tebuireng.online
Halaman
Editor | : |
---|