Sedang yang disebut i’adah adalah pengulangan pelaksanaan ibadah yang telah dilakukan lantaran ada cacat atau uzur.
Termasuk kategori cacat adalah ditinggalkannya syarat, rukun, atau ditinggalkannya syarat, rukun, atau ketinggalan berjamaah.
Sedang persyaratan i’adah adalah harus masih dalam batas waktu, bukan di lar waktu seperti qadha’. Sebagaimana diterangkan dalam kitab Jam’u Jawami’ juz 1 halaman 117.
Maka, dengan paradigma ini kasus pertama, jelas tidak masuk hitungan ibadah, baik ada’, qadha’, atau i’adah karena dilakukan sebelum waktunya, sebab waktu itu ia sedang berpuasa. Ini artinya ia meyakini bahwa saat itu tanggal 30 Ramadhan, bukan 1 Syawal.
Mengapa? Ini terjadi karena sholat ied harus dilakukan pada hari pertama bulan Syawal. Yakni hari pertama berbuka setelah sebulan berpuasa. Dalam hadis, Nabi bersabda:
فطركم يوم تفطرون، واضحاكم يوم تضحون وعرفتكم يوم تعرفون
“Hari raya Idul Fitri kalian adalah sewaktu kalian berbuka. Hari Idul Adha kalian adalah sewaktu kalian menyembelih hewan kurban. Dan hari arafah kalian adalah saat kalian wukuf di Arafah”. (H.R. Tirmidzi)
Benar, Hari Raya adalah saat berbuka. Tetapi kapan? Dan dengan standar apa 1 Syawal bisa ditentukan? Dalam sejarah fikih, paling tidak ada 3 cara untuk menentukannya.
Pertama, istikmal (menyempurnakan Ramadhan 30 hari). cara ini dilakukan ketika cuaca diselimuti mendung dan tak memungkinkan rukyah.
Kedua, dengan rukyah. Yakni dengan melihat langsung bulan. Ketiga, dengan hisab Qothi’i (menggunakan kalkulasi astronomis).
Halaman
Editor | : |
---|