Nama “Karanganyar” menjadi penanda dari sebuah babak baru dalam sejarah, bukan hanya bagi sang pangeran, tetapi juga bagi wilayah yang kemudian dikenal dengan nama tersebut.
Sebelum menjadi saksi bisu perjanjian penting tersebut, cikal bakal Karanganyar berawal dari sebuah dukuh kecil yang terkait dengan sosok Raden Ayu Diponegoro, atau Nyi Ageng Karang.
Di bawah pemerintahan Sri Pakubuwono II dari Kasunanan Surakarta, wilayah ini masih berupa entitas yang relatif kecil.
Namun, peta politik Jawa Tengah mengalami perubahan signifikan pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755.
Karanganyar termasuk dalam wilayah yang kemudian berada di bawah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta, yang saat itu dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwana II).
Pembagian administratif ini kemudian dipertegas melalui RIJKSBLAAD Mangkunegaran pada tahun 1923.
Kendati demikian, kelahiran Karanganyar sebagai sebuah kabupaten yang berdiri sendiri baru terwujud pada tanggal 19 April 1946.
Momen bersejarah ini terjadi tepat sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, menandai sebuah era baru bagi Karanganyar sebagai bagian integral dari Republik Indonesia.
Menelusuri asal-usul nama Karanganyar membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam tentang sejarah dan nilai-nilai yang mendasari identitas kabupaten ini.
Lebih dari sekadar pengingat akan perjuangan seorang pangeran, “Karanganyar” adalah simbol harapan akan masa depan yang baru, kemakmuran yang diwariskan, dan cita-cita luhur yang telah tercapai.
Sebuah nama yang tak hanya tertulis di peta, namun juga terukir dalam perjalanan sejarah dan benak masyarakatnya.***
Halaman
Editor | : | Alifian |
---|