Lantas, apakah denda damai akan meniadakan hukuman badan? Menurutnya, hukuman tetap dijalankan, tetapi juga bisa diganti. Prinsipnya adalah membuat unsur jera dan malu koruptor.
“Kalau hukuman badan gak membuat malu koruptor seperti yang terjadi selama ini, ya sama saja. Artinya koruptor selama ini gak ngaruh dipenjara. Maka harus dicarikan terobosan baru agar malu. Termasuk apakah denda koruptor itu hanya untuk kasus kecil saja atau bagaimana perlu dirumuskan teknis,” paparnya.
Pembicara lain, Pakar Ekonomi, Prof. Dr. Izza Mafruhah, SE, M.Si meminta konsep denda damai harus dirinci. Karena jangan sampai menjadi masalah baru terjadi korupsi lain. Uang sitaan dari kejahatan koruptor harus jelas larinya ke negara.
“Di luar negeri ada denda pengampunan, tetapi pengambilannya harta yang dikorupsi harus maksimal. Sejauh mana regulasi di Indonesia efektif. Dampak bagi perekenomian harus ada. Harus ditangani serius sehingga memberikan kepercayaan investiasi dan masyarakat,” kata dia.
Dia menyoroti, jika dari waktu ke waktu korupsi terus menjamur dari level atas sampai bawah. Bahkan sampai kepada kepala desa (kades) yang tejerat dana desa banyak. Meskipun tidak jumbo tapi besar karena menganggu pembangunan desa.
Dia mencontohkan, di Tingkok korupsi Rp 215 juta dihukum mati. Apalagi dengan angka Rp 43 miliar. Kemudian di Taiwan korupsi dana kemanusian atau soal dihukuman mati karena banyak bencana alam. Bahkann di AS koruptor divonis 5 tahun dan didenda US$ 2 juta dan korupsi berat 20 tahun penjara.
“Di kita (Indonesia), banyak itu koruptor keluar penjara masih kaya. Denda kecil dan penjara singkat justru hanya membuat masyarakat sakit hati. Misal yang korupsi kemarin sampai ratusan triliun. Masak denda Rp210 milar. Denda gak sampai 1 persen dari kerugian yang dirugikan,” tuturnya.
Halaman
Editor | : | Alifian |
---|