DENPASAR, HARIANKOTA.COM – Puasa Ramadan hukumnya wajib bagi umat Islam yang memenuhi syarat, karena termasuk ke dalam rukun Islam ketiga.
Umat muslim diwajibkan untuk berpuasa saat bulan Ramadhan.
Namun bagaimana cara membayar hutang puasa Ramadhan yang ternyata sudah begitu banyak.
Sedangkan tak lama lagi bulan Ramadhan tiba?
Meski hukumnya wajib, namun ada pengecualian yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa saat bulan suci Ramadhan.
Hal ini bisa terjadi misalnya pada seorang perempuan, ketika bulan Ramadan ia melahirkan atau menyusui anaknya kemudian mengalami hal yang sama pada Ramadan berikutnya.
Sehingga, saat hendak mengganti puasanya terjadi bingung karena banyak dan tidak tercatat. Begitu pula wanita yang tengah datang bulan.
Sehingga, kerap terjadi saat hendak menggantikan puasanya, maka yang terjadi rasa kebingungan berapa hitungan puasa yang ditinggalkan itu harus diganti.
Padahal Qadha atau pengganti puasa Ramadan wajib dilaksanakan sebanyak hari yang telah ditinggalkan, sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Baqarah ayat 184.
“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.”
Selagi puasa wajib belum ditunaikan, maka kewajiban itu masih menjadi tanggungan. Hal ini dijelaskan oleh Imam Al-Haramain, sebagaimana dilansir dari laman NU Online,
والأمر استدعاء الفعل بالقول ممن هو دونه على سبيل الوجوب. وإذا فعل يخرج المأمور عن العهد
Artinya: “Perintah (Allah) adalah tuntutan melalui ucapan untuk melakukan sesuatu terhadap pihak yang lebih rendah serta bersifat wajib. Bila perintah itu sudah dikerjakan, maka pihak yang diperintah keluar dari beban perintah tersebut”.
Syekh Ibnu Hajar melalui fatwanya menarik persoalan puasa ini dari masalah wudhu sebagai keterangan berikut:
Artinya: “Dari masalah wudhu ini (kasus orang yang yakin sudah hadas dan ragu sudah bersuci atau belum, lalu ia wudhu dengan niat menghilangkan hadas bila memang hadas, dan bila tidak maka niat memperbarui wudhu, maka sah wudhunya). Bisa dipahami bahwa jika seseorang ragu punya kewajiban mengqadha puasa misalnya, lalu ia niat mengqadhanya bila memang punya kewajiban qadha puasa, dan bila tidak maka niat puasa sunnah, maka niatnya itu juga sah, dan qadha puasanya berhasil dengan mengira-ngirakan memang wajib mengqadha. Bahkan bila memang jelas wajib mengqadha. Bila tidak (ada kewajiban qadha), maka ia mendapat pahala puasa sunnah seperti halnya dalam masalah wudhu. Dengan demikian diketahui, bahwa orang yang ingin berpuasa sunnah sebaiknya berniat mengqadha puasa wajib bila memang ada kewajiban mengqadha. Bila tidak (ada kewajiban), maka puasanya bernilai puasa sunah. Hal ini dilakukan agar menghasilkan qadha bila memang punya kewajiban qadha”.
Dari penjelasan tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa orang yang memiliki utang puasa lalu ingin memperbaiki diri di hadapan Allah sebaiknya memperbanyak puasa dengan niat qadha puasa Ramadan. Jika qadha puasa wajibnya selesai dan ia terus mengqadha puasanya, maka puasa selebihnya bernilai pahala puasa sunnah. ***
Editor | : |
---|