SOLO, HARIANKOTA.COM – Di aula megah Universitas Sebelas Maret, keheningan pecah oleh suara bergetar seorang pria. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, berdiri di podium, air mata membasahi pipinya.
Bukan air mata kesedihan, melainkan haru yang mendalam.
“Saya lahir dari keluarga miskin,” ucapnya, suaranya tercekat. “Dibesarkan dalam keterbatasan, di mana makan saja sulit.”
Ia mengenang masa kecilnya, bukan di kamar nyaman, tetapi di bawah rindangnya pohon kayu.
Bukan kasur empuk, melainkan tanah beralaskan dedaunan. Setiap hari, ia dan saudara-saudaranya berjuang mencari makan di hutan, mengisi perut dengan jambu dan ubi liar.
Namun, di tengah kerasnya kehidupan, ada satu sosok yang selalu menyemangatinya: sang ibu.
“Nak, kamu nanti jadi orang besar,” kata ibunya, kalimat yang selalu terngiang di telinganya.
Ibunya, seorang wanita sederhana, memiliki keyakinan yang luar biasa. Ia percaya anaknya akan mengubah nasib keluarga. Bahkan, ia pernah berkata,
“Nak, kamu nanti jadi menteri.”
Kata-kata itu, diucapkan dengan penuh kasih, menjadi doa yang mengantarkan Andi Amran ke gerbang kesuksesan.
Ia, anak desa yang lahir dari keluarga miskin, kini berdiri di hadapan ratusan orang, menerima penghargaan tertinggi.
“Saya tidak mungkin berdiri di sini tanpa ibu,” ujarnya, suaranya bergetar. “Doa ibu adalah kekuatan terbesar dalam hidup saya.”
Ia menatap piala di tangannya, bukan sebagai simbol kesuksesan pribadi, tetapi sebagai bukti cinta seorang ibu.
Penghargaan ini, katanya, bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk setiap ibu yang tak pernah lelah bermimpi untuk anaknya.
“Jika ingin melihat senyum Tuhan, buatlah ibumu tersenyum,” pesannya, air mata kembali mengalir.
Halaman
Editor | : | Alifian |
---|